KH. Asnawi Caringin – Banten
PANDEGLANG, Kesadaran sejarah, menjadi satu hal fundamen bagi anak bangsa. Terutama kaum muslimin Indonesia. Sepertinya kita perlu bertanya. Kenapa Indonesia ini bisa menjadi Negara yang penduduk muslimnya terbesar di dunia? Peran tangan siapakah ini? Hal-hal seperti ini seharusnya menjadi pertanyaan dan kontemplasi bagi kita sebagai anak bangsa. Jika kita berkunjung ke Kota Pandeglang, disisi Timur Alun-alun Pandeglang terdapat sebuah jalan yang bernama Jalan TB. Asnawi (Depan Pendopo Pandeglang). Tidak jarang generasi muda Pandeglang ketika ditanya siapa gerangan tokoh tersebut, mereka menjawab Tidak Tahu. Oleh karena itu perlu kiranya saya muat tulisan ini agar kita mengenal ketokohan beliau.
KH. Asnawi lahir di Kampung Caringin sekitar tahun 1850 M, ayah beliau bernama Abdurrahman dan ibunya bernama Ratu Sabi’ah dan merupakan keturunan ke 17 dari Sultan Ageng Mataram atau Raden Fattah. Sejak umur 9 tahun Ayahnya telah mengirim KH. Asnawi ke Mekkah untuk memperdalam agama Islam. Di Mekkah beliau belajar dengan Ulama kelahiran Banten yang telah termasyhur namanya bernama Syech Nawawi Al Bantani. Karena kecerdasan yang di miliki beliau dengan mudah mampu menyerap berbagai disiplin ilmu yang telah di berikan oleh gurunya. Setelah dirasa cukup lama menimba ilmu dari sang Syech maka Syech Nawawi Tanara Banten menyuruh muridnya KH. Asnawi untuk pulang ketanah air untuk mensyiarkan agama Alloh ini.
Sekembalinya dari Mekkah KH. Asnawi mulai melakukan dakwah ke berbagai daerah, karena kepiawaian dalam berdakwah dan ilmu yang dimilikinya nama KH. Asnawi mulai ramai dikenal serta dibicarakan orang, beliau menjadi sosok ulama yang menjadi panutan masyarakat khususnya Banten. Pada saat itupula tanah air kita masih di kuasai Penjajah Belanda. Rusaknya moral dan mental masyarakat Banten pada waktu itu membuat KH. Asnawi menjadi garang serta menyulut kobaran api kemerdekaan pada setiap dakwahnya. Hal ini sering mendapat KH. Asnawi diancaman oleh pihak-pihak yang merasa kebebasannya terusik. Banten yang terkenal dengan jawara-jawaranya yang memiliki ilmu kanuragan dari dahulu terkenal sangat sadis dan bengis, dapat di taklukkan oleh KH. Asnawi, dan berkat beliau kegigihan dan perjuangannya menjadi terkenal sebagai Ulama dan Jawara yang sakti yang sangat disegani oleh kaum Penjajah Belanda. KH. Asnawi dalam melakukan dakwahnya juga mengobarkan semangat Nasionalisme anti penjajah kepada masyarakat hingga akhirnya KH. Asnawi di tahan di Tanah Abang di asingkan ke Cianjur oleh Belanda selama kurang lebih satu tahun dengan tuduhan melakukan pemberontakan kepada pemerintah Hindia Belanda, Apa yang dilakukan KH. Asnawi mendapat dukungan penuh dari rakyat dan dan para ulama lainnya, seperti para bangsawan dan para jawara. Semenjak runtuhnya kesultanan Banten, terjadi sejumlah pemberontakan yang sebagian besar dipimpin oleh tokoh-tokoh agama. Seperti, pemberontakan di Pandeglang tahun 1811 yang dipimpin oleh Mas Jakaria, peristiwa Cikande Udik tahun 1845, pemberontakan Wakhia tahun 1850, peristiwa Usup tahun 1851, peristiwa Pungut tahun 1862, kasus Kolelet tahun 1866, kasus Jayakusuma tahun 1868 dan yang paling terkenal adalah Geger Cilegon tahun 1888 yang dipimpin oleh KH. Wasid.
Selama di pengasingan KH. Asnawi tetap melakukan Dakwah mengajarkan Al-Quran dan Tarekat kepada masyarakat sekitar dan setelah dirasa aman KH. Asnawi kembali ke kampungnya di Caringin untuk melanjutkan perjuangan mensyiarkan Islam dengan mendirikan Madrasah Masyarikul Anwar dan Masjid Salafiah Caringin sekitar tahun 1884 Mesjid Caringin ditandai oleh denah empat persegi panjang, pada keempat sisinya terdapat serambi. Arsitektur Masjid dipengaruhi oleh unsur arsitektur lokal, terlihat dari bentuk atapnya dan ditopang oleh arsitektur asing terlihat pada bentuk jendela serta pintu dalam dengan ukuran relatif besar juga pilar-pilar yang mengelilingi Masjid. Menurut cerita bahwa Kayu masjid tersebut berasal dari sebuah pohon Kalimantan yang di bawa oleh KH. Asnawi ke Caringin dahulu pohon tersebut tidak bisa di tebang kalaupun bisa di tebang beberapa saat pohon tersebut muncul kembali hingga akhirnya KH. Asnawi berdo’a memohon kepada Alloh agar diberi kekuatan dan pohon tersebut dapat di tebang serta kayunya dibawa KH. Asnawi ke Caringin untuk membangun Masjid.
Tahun 1937 KH. Asnawi berpulang kerahmtulloh dan meninggalkan 23 anak dari lima Istri ( Hj. Ageng Tuti halimah, HJ sarban, Hj Syarifah, Nyai Salfah dan Nyai Nafi’ah ), di maqomkan di Masjid Salfiah Caringin, hingga kini Masjid Salafiah Caringin dan maqom beliau tak pernah sepi dari para peziarah baik dari sekitar Banten maupun dari berbagai daerah di tanah air banyak pengalaman menarik dari peziarah yang melakukan i’tikaf di masjid tersebut seperti yang diungkap oleh salah seorang jamaah sewaktu melakukan i’tikaf terlihat pancaran cahaya memenuhi ruangan Masjid yang berusia hampir 200 tahun tersebut. Wallohu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar