Perseteruan antara Plt. Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok, dengan Front Pembela Islam (FPI) belum berakhir. FPI semakin
ngotot menolak Ahok menjadi Gubernur DKI menggantikan Jokowi yang sudah
berganti posisi menjadi Presiden RI. Hampir setiap minggu FPI melakukan
aksi demo menolak Ahok. Semakin lama massa yang dibawa oleh FPI semakin
besar, tidak hanya anggotanya saja, tetapi juga massa dari berbagai
ormas dan elemen masyarakat lainnya. Aksi demo itu seringkali disertai
umpatan dan kata-kata kasar kepada Ahok.
Ahok tentu saja tidak tinggal diam ditentang demikian. Dia pun
menyiapkan jurus untuk membubarkan FPI. Ahok sudah mengirim surat kepada
Kemendagri dan Kepolisian untuk membubarkan FPI. Tentu saja membubarkan
sebuah ormas tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Prosesnya
panjang dan melalui jalur pengadilan. Sejatinya membubarkan FPI bukanlah
solusi, sebab setelah dibubarkan mereka dapat membuat ormas baru dengan
nama yang berbeda tetapi singkatannya sama. Undang-undang di negara
kita tidak dapat melarang pembentukan ormas, sebab hak berserikat dan
berkumpul sudah dijamin oleh konstitusi.
Saya bukanlah simpatisan FPI dan juga bukan pendukung Ahok. Saya
bukan warga DKI, namun seperti kita ketahui apa yang terjadi di DKI
pastilah menjadi perhatian semua orang di negeri ini. Dalam hal ini,
kasus perseteruan Ahok dan FPI menjadi perhatian saya juga.
Media arus utama (mainstream) umumnya memberitakan penolakan
FPI kepada Ahok karena Ahok itu etnis cina dan beragama Kristen. Ahok
adalah minoritas, maka minoritas tidak boleh memimpin mayoritas di DKI,
demikian kesan yang kita dapat dari pemberitaan media (yang perlu kita
kritisi). Namun saya mempunyai pendapat lain. Penolakan FPI terhadap
Ahok tidak semata-mata karena isu SARA (meskipun faktor ini juga
berperan), namun saya menduga penolakan yang semakin gencar belakangan
ini lebih banyak dipicu oleh pernyataan dan kebijakan Ahok sendiri.
Beberapa kebijakannya dianggap menyinggung warga muslim Jakarta,
misalnya pelarangan menjual hewan kurban di pinggir jalan, pelarangan
memotong hewan kurban di sekolah, mempersulit izin pengajian akbar di
Monas, dan mengganti seragam muslim dengan baju kebaya Betawi setiap
hari Jumat (kebijakan ini akhirnya dibatalkan).
Meskipun sebagian alasan pelarangan itu masuk akal, namun karena Ahok
menyinggung hal yang sensitif (urusan agama), maka kebijakannya
tersebut menyinggung perasaan keberagamaan seseorang. Melarang
pemotongan hewan kurban di sekolah misalnya, disebutkan alasannya karena
dapat mempengaruhi psikologis siswa melihat hewan dipotong. Namun Ahok
lupa, pemotongan hewan kurban di masjid-masjid pun disaksikan oleh
banyak anak-anak, dan selama ini tidak pernah terdengar kasus traumatis
pada anak-anak melihat pemotongan hewan kurban. Pemotongan hewan kurban
di sekolah adalah sarana pendidikan untuk menanamkan semangat berkurban
kepada anak sejak dini.
Selain kebijakan Ahok yang sensitif, sikap dan pernyataan-pernyataan
Ahook sendiri yang arogan memicu kebencian dan sakit hati bagi sebagian
orang. Ahok sering melontarkan kata-kata kasar, asal njeplak,
menantang, emosional, bahkan cenderung melanggar hukum. Usulannya kepada
polisi untuk menembak mati pelaku demo yang membuat onar jelas sekali
bertentangan dengan hukum. Polisi tidak bisa menembak mati begitu saja
pelaku rusuh. Ada prosedur tetapnya untuk menindak pelaku kerusuhan. Mau
jadi apa pemimpin rakyat kalau setiap ada kerusuhan langsung meminta
tembak mati perusuh? Itu adalah ciri pemimin yang zalim. Seorang
pemimpin adalah pelindung masyarakat yang dipimpinnya, bukan membasminya
meskipun berbeda pandangan.
Saya melihat Ahok terkesan “besar kepala” dan berada di atas angin
karena ia merasa didukung oleh media dan netizen. Ahok dan Jokowi adalah
tokoh yang besar oleh media. Gaya Ahok yang apa adanya, tidak
basa-basi, ceplas-ceplos, berani, dan sebagainya, dianggap tipe pemimpin
yang out of the box, sehingga menimbulkan simpati bagi sebagian orang yang sudah muak dengan perilaku korupsi dan jaim para pejabat di negeri ini.
Lain Ahok lain pula FPI. Sikap FPI yang arogan menolak Ahok secara
berlebihan adalah tindakan yang salah serta bertentangan dengan ajaran
Islam itu sendiri. Mencaci maki Ahok dengan kata-kata kasar hanya akan
menimbulkan antipati bagi orang lain, termasuk dari orang Islam sendiri.
Tidak setuju dengan Ahok tidaklah dilarang, melakukan demo juga tidak
dilarang, namun semuanya harus dilakukan dengan cara-cara yang
konstitusional, santun, beretika, dan tidak menggunakan aksi kekerasan.
Ada salurannya jika menolak, yaitu melalui wakil-wakil rakyat d DPRD
DKI.
Mempersoalkan Ahok sebagai Cina dan Kristen yang tidak boleh menjadi
Gubernur Jakarta bertentangan dengan konstitusi kita. Di dalam UUD semua
orang berkedudukan sama di hadapan hukum, maka tidak ada alasan menolak
Ahok menjadi Gubernur hanya karena suku dan agama. DKI Jakarta pernah
dipimpin oleh gubernur yang bukan orang Islam, yaitu Henk Ngantung, dan
menurut catatan sejarah tidak ada aksi penolakan waktu itu (mungkin
karena karakter Henk Ngantung tidak seperti Ahok). Seharusnya pihak yang
menolak menyadari bahwa setelah Jokowi menjadi Presien, maka
penggantinya adalah wakilnya, dalam hal ini Ahok.
Saya sendiri tidak sepakat dengan penolakan FPI kepada Ahok karena
alasan yang bersifat primordial. Meskipun saya bukan warga DKI, saya
tidak berkeberatan Ahok menjadi Gubernur menggantikan Jokowi.
Konsekuensi hukum setelah Jokowi menjadi Presiden adalah Ahok yang
menggantikannya sebagai gubernur. Kita harus sadar dan paham akan hal
itu, tidak boleh membantahnya. Di luar alasan itu, menurut pengamatan
saya Ahok adalah orang yang baik, tulus, dan sosok pekerja.
Namun, saya bisa memahami jika penolakan FPI dan ormas lainnya
terhadap Ahok dipicu oleh pernyataan-pernyataan dan kebijakan Ahok yang
menyinggung atau bersifat sensitif. Maka menurut saya, ke depan nanti
FPI dan Ahok hendaklah sama-sama memperbaiki sikap. FPI harus lebih
santun dan beretika dalam melakukan demo, sebaliknya Ahok harus lebih
sabar dan dapat mengontrol dirinya (terutama menjaga mulutnya). Saya
sependapat dengan pernyataan Ketua PBNU, K.H. Agiel Siradj,
bahwa Ahok harus bersikap lebih sabar dalam berkomunikasi dengan pihak
lain, jangan sampai ia membuat orang lain sakit hati dengan
kata-katanya. Selalu marah-marah, menggebrak meja, dan berkata kasar
dapat menimbulkan antipati dan kemarahan terpendam bagi orang lain. Ahok
juga harus lebih peka jika mengeluarkkan kebijakan yang berkaitan
dengan rasa keberagamaan. Dia dapat berkonsultasi dengan MUI, para
ustad, atau para habib yang menjadi panutan warga muslim DKI.
Bagaimanapun Ahok juga adalah pemimpin ulama dan para habib di DKI,
selain tentu saja sebagai pengayom masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar