Selasa, 09 Desember 2014

Perseteruan antara Plt. Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dengan Front Pembela Islam (FPI) belum berakhir. FPI semakin ngotot menolak Ahok menjadi Gubernur DKI menggantikan Jokowi yang sudah berganti posisi menjadi Presiden RI. Hampir setiap minggu FPI melakukan aksi demo menolak Ahok. Semakin lama massa yang dibawa oleh FPI semakin besar, tidak hanya anggotanya saja, tetapi juga massa dari berbagai ormas dan elemen masyarakat lainnya. Aksi demo itu seringkali disertai umpatan dan kata-kata kasar kepada Ahok.
Ahok tentu saja tidak tinggal diam ditentang demikian. Dia pun menyiapkan jurus untuk membubarkan FPI. Ahok sudah mengirim surat kepada Kemendagri dan Kepolisian untuk membubarkan FPI. Tentu saja membubarkan sebuah ormas tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Prosesnya panjang dan melalui jalur pengadilan. Sejatinya membubarkan FPI bukanlah solusi, sebab setelah dibubarkan mereka dapat membuat ormas baru dengan nama yang berbeda tetapi singkatannya sama. Undang-undang di negara kita tidak dapat melarang pembentukan ormas, sebab hak berserikat dan berkumpul sudah dijamin oleh konstitusi.
Saya bukanlah simpatisan FPI dan juga bukan pendukung Ahok. Saya bukan warga DKI, namun seperti kita ketahui apa yang terjadi di DKI pastilah menjadi perhatian semua orang di negeri ini. Dalam hal ini, kasus perseteruan Ahok dan FPI menjadi perhatian saya juga.
Media arus utama (mainstream) umumnya memberitakan penolakan FPI kepada Ahok karena Ahok itu etnis cina dan beragama Kristen. Ahok adalah minoritas, maka minoritas tidak boleh memimpin mayoritas di DKI, demikian kesan yang kita dapat dari pemberitaan media (yang perlu kita kritisi). Namun saya mempunyai pendapat lain. Penolakan FPI terhadap Ahok tidak semata-mata karena isu SARA (meskipun faktor ini juga berperan), namun saya menduga penolakan yang semakin gencar belakangan ini lebih banyak dipicu oleh pernyataan dan kebijakan Ahok sendiri. Beberapa kebijakannya dianggap menyinggung warga muslim Jakarta, misalnya pelarangan menjual hewan kurban di pinggir jalan, pelarangan memotong hewan kurban di sekolah, mempersulit izin pengajian akbar di Monas, dan mengganti seragam muslim dengan baju kebaya Betawi setiap hari Jumat (kebijakan ini akhirnya dibatalkan).
Meskipun sebagian alasan pelarangan itu masuk akal, namun karena Ahok menyinggung hal yang sensitif (urusan agama), maka kebijakannya tersebut menyinggung perasaan keberagamaan seseorang. Melarang pemotongan hewan kurban di sekolah misalnya, disebutkan alasannya karena dapat mempengaruhi psikologis siswa melihat hewan dipotong. Namun Ahok lupa, pemotongan hewan kurban di masjid-masjid pun disaksikan oleh banyak anak-anak, dan selama ini tidak pernah terdengar kasus traumatis pada anak-anak melihat pemotongan hewan kurban. Pemotongan hewan kurban di sekolah adalah sarana pendidikan untuk menanamkan semangat berkurban kepada anak sejak dini.
Selain kebijakan Ahok yang sensitif, sikap dan pernyataan-pernyataan Ahook sendiri yang arogan memicu kebencian dan sakit hati bagi sebagian orang. Ahok sering melontarkan kata-kata kasar, asal njeplak, menantang, emosional, bahkan cenderung melanggar hukum. Usulannya kepada polisi untuk menembak mati pelaku demo yang membuat onar jelas sekali bertentangan dengan hukum. Polisi tidak bisa menembak mati begitu saja pelaku rusuh. Ada prosedur tetapnya untuk menindak pelaku kerusuhan. Mau jadi apa pemimpin rakyat kalau setiap ada kerusuhan langsung meminta tembak mati perusuh? Itu adalah ciri pemimin yang zalim. Seorang pemimpin adalah pelindung masyarakat yang dipimpinnya, bukan membasminya meskipun berbeda pandangan.
Saya melihat Ahok terkesan “besar kepala” dan berada di atas angin karena ia merasa didukung oleh media dan netizen. Ahok dan Jokowi adalah tokoh yang besar oleh media. Gaya Ahok yang apa adanya, tidak basa-basi, ceplas-ceplos, berani, dan sebagainya, dianggap tipe pemimpin yang out of the box, sehingga menimbulkan simpati bagi sebagian orang yang sudah muak dengan perilaku korupsi dan jaim para pejabat di negeri ini.
Lain Ahok lain pula FPI. Sikap FPI yang arogan menolak Ahok secara berlebihan adalah tindakan yang salah serta bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Mencaci maki Ahok dengan kata-kata kasar hanya akan menimbulkan antipati bagi orang lain, termasuk dari orang Islam sendiri. Tidak setuju dengan Ahok tidaklah dilarang, melakukan demo juga tidak dilarang, namun semuanya harus dilakukan dengan cara-cara yang konstitusional, santun, beretika, dan tidak menggunakan aksi kekerasan. Ada salurannya jika menolak, yaitu melalui wakil-wakil rakyat d DPRD DKI.
Mempersoalkan Ahok sebagai Cina dan Kristen yang tidak boleh menjadi Gubernur Jakarta bertentangan dengan konstitusi kita. Di dalam UUD semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum, maka tidak ada alasan menolak Ahok menjadi Gubernur hanya karena suku dan agama. DKI Jakarta pernah dipimpin oleh gubernur yang bukan orang Islam, yaitu Henk Ngantung, dan menurut catatan sejarah tidak ada aksi penolakan waktu itu (mungkin karena karakter Henk Ngantung tidak seperti Ahok). Seharusnya pihak yang menolak menyadari bahwa setelah Jokowi menjadi Presien, maka penggantinya adalah wakilnya, dalam hal ini Ahok.
Saya sendiri tidak sepakat dengan penolakan FPI kepada Ahok karena alasan yang bersifat primordial. Meskipun saya bukan warga DKI, saya tidak berkeberatan Ahok menjadi Gubernur menggantikan Jokowi. Konsekuensi hukum setelah Jokowi menjadi Presiden adalah Ahok yang menggantikannya sebagai gubernur. Kita harus sadar dan paham akan hal itu, tidak boleh membantahnya. Di luar alasan itu, menurut pengamatan saya Ahok adalah orang yang baik, tulus, dan sosok pekerja.
Namun, saya bisa memahami jika penolakan FPI dan ormas lainnya terhadap Ahok dipicu oleh pernyataan-pernyataan dan kebijakan Ahok yang menyinggung atau bersifat sensitif. Maka menurut saya, ke depan nanti FPI dan Ahok hendaklah sama-sama memperbaiki sikap. FPI harus lebih santun dan beretika dalam melakukan demo, sebaliknya Ahok harus lebih sabar dan dapat mengontrol dirinya (terutama menjaga mulutnya). Saya sependapat dengan pernyataan Ketua PBNU, K.H. Agiel Siradj, bahwa Ahok harus bersikap lebih sabar dalam berkomunikasi dengan pihak lain, jangan sampai ia membuat orang lain sakit hati dengan kata-katanya. Selalu marah-marah, menggebrak meja, dan berkata kasar dapat menimbulkan antipati dan kemarahan terpendam bagi orang lain. Ahok juga harus lebih peka jika mengeluarkkan kebijakan yang berkaitan dengan rasa keberagamaan. Dia dapat berkonsultasi dengan MUI, para ustad, atau para habib yang menjadi panutan warga muslim DKI. Bagaimanapun Ahok juga adalah pemimpin ulama dan para habib di DKI, selain tentu saja sebagai pengayom masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar