Kamis, 22 Januari 2015

Aliran Eksistensialisme



BAB I
PENDAHULUAN

            Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada. (Plato, 428 -348 SM). Aristoteles ( (384 – 322 SM) : Bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Imanuel Kant ( 1724 – 1804 ) : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan ( metafisika, etika, agama, dan antropologi).

Filsafat mempunyai berabagai cabang, dan juga diterapkan dalam berbagai bidang seperti pada pendidikan, jadi ada filsafat pendidikan. Antara filsafat dan pendidikan memiliki kaitan atau hubungan yang sangat erat, sehingga melahirkan sebuah kajian filsafat pendidikan. (Barnadib, 1994: 7). Adapun tiga aspek filsafat yang merupakan landasan pendidikan yaitu: metafisis, epistimologis, dan aksiologis.

Aspek metafisis merupakan suatu aspek yang berhubungan dengan realitas dan kenyataan. Aspek yang kedua adalah epistimologis yang berkaitan dengan maslah pengetahuan termasuk masalah kebenaran. Ketiga adalah aksiologis yaitu aspek yang berhubungan dengan nilai (value), baik nilai keindahan maupun nilai kebaikan.

Filsafat pendidikan merupakan kelanjutan dari kajian filsafat manusia ( antropologi filosofis). Filsafat manusia membahas  tentang apa yang menjadi hakekat dari manusia. Filsafat pendidikan tentunya menjelaskan tentang apa pendidikan yang sebenarnya. Sedangkan dalam pendidikan, peserta didik adalah manusia, jadi dalam mengkaji filsafat pendidikan diiringi dengan filsafat manusia.

Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang aliran filsafat eksistensialisme dalam pendidikan, para tokoh-tokohnya dan bagaimana pandangan eksistensialisme terhadap pendidikan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah dan Pengertian  Eksistensialisme
Istilah eksistensialisme dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman Martin Heidegger (1889-1976). Eksistensialisme adalah merupakan filsafat dan akar metodologinya berasal dari metoda fenomologi yang dikembangkan oleh Hussel (1859-1938). Munculnya eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Kieggard dan Nietzche. Kiergaard Filsafat Jerman (1813-1855) filsafatnya untuk menjawab pertanyaan “Bagaimanakah aku menjadi seorang individu)”. Hal ini terjadi karena pada saat itu terjadi krisis eksistensial (manusia melupakan individualitasnya). Kiergaard menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan. Nitzsche (1844-1900) filsuf jerman tujuan filsafatnya adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia unggul”. Jawabannya manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani.
Eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus mendeskripsikan eksistensi dan pengalaman manusia dengan metedologi fenomenologi, atau cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi terhadap materialisme dan idealisme. Pendapat materialisme bahwa manusia adalah benda dunia, manusia itu adalah materi , manusia adalah sesuatu yang ada tanpa menjadi Subjek. Pandangan manusia menurut idealisme adalah manusia hanya sebagai subjek atau hanya sebagai suatu kesadaran. Eksistensialisme berkayakinan bahwa paparan manusia harus berpangkalkan eksistensi, sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang kongkrit.
Eksistensi oleh kaum eksistensialis disebut Eks bearti keluar, sintesi berarti berdiri. Jadi ektensi berarti berdiri sebagai diri sendiri.



B.     Eksistensialisme  dalam  Pendidikan

Menurut penjelasan di atas eksistensialisme adalah paham yang berkaitan tentang individu atau diri pribadi seseorang, untuk eksis/bisa menjadi seorang manusia. Gerakan eksistensialis dalam pendidikan berangkat dari aliran filsafat yang menamakan dirinya eksistensialisme, yang para tokohnya antara lain Kierkegaard (1813 – 1915), Nietzsche (1811 – 1900) dan Jean Paul Sartre. Inti ajaran ini adalah respek terhadap individu yang unik pada setiap orang. Eksistensi mendahului esensi. Kita lahir dan eksis lalu menentukan dengan bebas esensi kita masing-masing. Setiap individu menentukan untuk dirinya sendiri apa itu yang benar, salah, indah dan jelek. Tidak ada bentuk universal, setiap orang memiliki keinginan untuk bebas (free will) dan berkembang. Pendidikan seyogyanya menekankan refleksi yang mendalam terhadap komitmen dan pilihan sendiri.
Manusia adalah pencipta esensi dirinya. Dalam kelas guru berperan sebagai fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan membiarkan berbagai bentuk pajanan (exposure) dan jalan untuk dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka kaum eksistensialis menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh, bukan hanya sebagai pembangunan nalar. Sejalan dengan tujuan itu, kurikulum menjadi fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan untuk dipilih siswa. Kelas mesti kaya dengan materi ajar yang memungkinkan siswa melakukan ekspresi diri, antara lain dalam bentuk karya sastra film, dan drama. Semua itu merupakan alat untuk memungkinkan siswa ‘berfilsafat’ ihwal makna dari pengalaman hidup, cinta dan kematian.
Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari sebagian terbesar reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia kedua. Dengan demikian Eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya.
Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan filsafat eksistensi. Paham Eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagai arti katanya, yaitu: “filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.”
Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutkan rasional. Dengan demikian aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman, dan situasi sejarah yang ia alami, dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak serta spekulatif. Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan hidupnya.
Atas dasar pandangannya itu, sikap di kalangan kaum Eksistensialisme atau penganut aliran ini seringkali nampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.
Pandangannya tentang  pendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam Existentialism and Education, bahwa “Eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk. Oleh sebab itu Eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang diajukan oleh Morris sebagai “Eksistensialisme’s concept of freedom in education”, menurut Bruce F. Baker, tidak memberikan kejelasan. Barangkali Ivan Illich dengan Deschooling Society, yang banyak mengundang reaksi di kalangan ahli pendidikan, merupakan salah satu model pendidikan yang dikehendaki aliran Eksistensialisme tidak banyak dibicarakan dalam filsafat pendidikan.

C.     Aspek Metafisik dan Pendidikan

Aspek metafisis itu berkaitan dengan realitas. Menurut pandangan eksistensialisme realitas adalah subyektif, dengan eksistensi mendahului essensi (J.P. Sartre). Kita lahir dan eksis lalu menentukan dengan bebas esensi kita masing-masing. Setiap individu menentukan untuk dirinya sendiri apa itu yang benar, salah, indah dan jelek. Tidak ada bentuk universal, setiap orang memiliki keinginan untuk bebas (free will) dan berkembang. Pendidikan sebaiknya menekankan refleksi yang mendalam terhadap komitmen dan pilihan sendiri. Manusia bukanlah makhluk sempurna, maka dari itu perlu penyadaran diri dengan menerapakan prinsip-prinsip dan standar pengembangan kepribadian.

D.    Aspek Epistimologis dan Pendidikan

Aspek ini berkaitan dengan pengetahuan dan masalah kebenaran. Jika dikaitkan dengan kurikulum yaitu menjadikan kurikulum yang liberal. Ini merupakan landasan bagi kebebasan manusia. Kebebasan memiliki aturan–aturan. Oleh karena itu di sekolah harus diajarkan pendidikan sosial untuk mengajar respek rasa hormat terhadap kebasan untuk semua.
Proses belajar mengajar pengetahuan tidak ditumpahkan melainkan ditawarkan. Untuk menjadi hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog.

E.     Aspek Aksiologis dan Pendidikan

Aspek yang ketiga ini berhubungan dengan nilai (etika dan estetika).  Standar dan prinsip yang bervariasi pada tiap individu bebas untuk dipilih dan diambil. Etika sebagai tuntunan moral bagi kepentingan pribadi tanpa menyakiti orang. Nilai  keindahan ditentukan secara individual pada tiap orang oleh dirinya.







BAB III
KESIMPULAN

Eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus mendeskripsikan eksistensi dan pengalaman manusia dengan metedologi fenomenologi, atau cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi terhadap materialisme dan idealisme Pendapat materialisme terhadap manusia adalah manusia adalah benda dunia, manusia itu adalah materi , manusia adalah sesuatu yang ada tanpa menjadi Subjek.
Tujuan pendidikan menurut pandangan eksistensialisme adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri dengan memberikan bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan.
Aspek-aspek:
1.       Aspek metafisika (hakekat kenyataan), pribadi manusia tak sempurna, dapat diperbaiki melalui peyadaran diri dengan menerapkan prinsip dan standar pengembangan kepribadian.
2.       Aspek Epistimologi (hakekat pengetahuan), data internal pribadi, acuannya kebebasan memilih.
3.       Aksiologi (hakekat nilai), standar dan rinsip yang bervariasi pada tiap individu bebas untuk dipilih dan diambil.








DAFTAR PUSTAKA

Makalah Filsafat Pendidikan Kelompok 9 (Aliran-aliran Filsafat Pendidikan) « Pba09's Blog.htm
Achmad Dardiri. Aspek-aspek Filsafat dan Kaitannya Dengan Pendidikan.Majalah Ilmiah Fondasi Pendidikan, Volume 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar