BAB I
PENDAHULUAN
Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada. (Plato, 428 -348
SM). Aristoteles ( (384 – 322 SM) : Bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki
sebab dan asas segala benda. Imanuel Kant ( 1724 – 1804 ) : Filsafat adalah
ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang
didalamnya tercakup empat persoalan ( metafisika, etika, agama, dan
antropologi).
Filsafat mempunyai berabagai cabang, dan juga diterapkan
dalam berbagai bidang seperti pada pendidikan, jadi ada filsafat pendidikan.
Antara filsafat dan pendidikan memiliki kaitan atau hubungan yang sangat erat,
sehingga melahirkan sebuah kajian filsafat pendidikan. (Barnadib, 1994: 7).
Adapun tiga aspek filsafat yang merupakan landasan pendidikan yaitu: metafisis,
epistimologis, dan aksiologis.
Aspek metafisis merupakan suatu aspek yang berhubungan
dengan realitas dan kenyataan. Aspek yang kedua adalah epistimologis yang
berkaitan dengan maslah pengetahuan termasuk masalah kebenaran. Ketiga adalah
aksiologis yaitu aspek yang berhubungan dengan nilai (value), baik nilai
keindahan maupun nilai kebaikan.
Filsafat pendidikan merupakan kelanjutan dari kajian
filsafat manusia ( antropologi filosofis). Filsafat manusia membahas
tentang apa yang menjadi hakekat dari manusia. Filsafat pendidikan tentunya
menjelaskan tentang apa pendidikan yang sebenarnya. Sedangkan dalam pendidikan,
peserta didik adalah manusia, jadi dalam mengkaji filsafat pendidikan diiringi
dengan filsafat manusia.
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang aliran filsafat
eksistensialisme dalam pendidikan, para tokoh-tokohnya dan bagaimana pandangan
eksistensialisme terhadap pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah dan Pengertian
Eksistensialisme
Istilah eksistensialisme dikemukakan oleh ahli filsafat
Jerman Martin Heidegger (1889-1976). Eksistensialisme adalah merupakan filsafat
dan akar metodologinya berasal dari metoda fenomologi yang dikembangkan oleh
Hussel (1859-1938). Munculnya eksistensialisme berawal dari ahli filsafat
Kieggard dan Nietzche. Kiergaard Filsafat Jerman (1813-1855) filsafatnya
untuk menjawab pertanyaan “Bagaimanakah aku menjadi seorang individu)”. Hal ini
terjadi karena pada saat itu terjadi krisis eksistensial (manusia
melupakan individualitasnya). Kiergaard menemukan jawaban untuk
pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika
memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan. Nitzsche
(1844-1900) filsuf jerman tujuan filsafatnya adalah untuk menjawab pertanyaan
“bagaimana caranya menjadi manusia unggul”. Jawabannya manusia bisa menjadi
unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan
berani.
Eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus
mendeskripsikan eksistensi dan pengalaman manusia dengan metedologi
fenomenologi, atau cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi
terhadap materialisme dan idealisme. Pendapat materialisme bahwa manusia
adalah benda dunia, manusia itu adalah materi , manusia adalah sesuatu yang ada
tanpa menjadi Subjek. Pandangan manusia menurut idealisme adalah
manusia hanya sebagai subjek atau hanya sebagai suatu kesadaran.
Eksistensialisme berkayakinan bahwa paparan manusia harus berpangkalkan
eksistensi, sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang
kongkrit.
Eksistensi oleh kaum eksistensialis disebut Eks bearti
keluar, sintesi berarti berdiri. Jadi ektensi berarti berdiri sebagai diri
sendiri.
B.
Eksistensialisme dalam
Pendidikan
Menurut penjelasan di atas eksistensialisme adalah paham
yang berkaitan tentang individu atau diri pribadi seseorang, untuk eksis/bisa
menjadi seorang manusia. Gerakan eksistensialis dalam pendidikan berangkat dari
aliran filsafat yang menamakan dirinya eksistensialisme, yang para tokohnya
antara lain Kierkegaard (1813 – 1915), Nietzsche (1811 – 1900) dan Jean Paul
Sartre. Inti ajaran ini adalah respek terhadap individu yang unik pada setiap
orang. Eksistensi mendahului esensi. Kita lahir dan eksis lalu menentukan
dengan bebas esensi kita masing-masing. Setiap individu menentukan untuk
dirinya sendiri apa itu yang benar, salah, indah dan jelek. Tidak ada bentuk
universal, setiap orang memiliki keinginan untuk bebas (free will) dan
berkembang. Pendidikan seyogyanya menekankan refleksi yang mendalam terhadap
komitmen dan pilihan sendiri.
Manusia adalah pencipta esensi dirinya. Dalam kelas guru
berperan sebagai fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya
dengan membiarkan berbagai bentuk pajanan (exposure) dan jalan untuk dilalui.
Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka kaum eksistensialis
menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh, bukan hanya
sebagai pembangunan nalar. Sejalan dengan tujuan itu, kurikulum menjadi
fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan untuk dipilih siswa. Kelas mesti
kaya dengan materi ajar yang memungkinkan siswa melakukan ekspresi diri, antara
lain dalam bentuk karya sastra film, dan drama. Semua itu merupakan alat untuk
memungkinkan siswa ‘berfilsafat’ ihwal makna dari pengalaman hidup, cinta dan
kematian.
Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi
dari sebagian terbesar reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah
akibat perang dunia kedua. Dengan demikian Eksistensialisme pada hakikatnya
adalah merupakan aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat
manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya.
Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan
filsafat eksistensi. Paham Eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia
pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagai
arti katanya, yaitu: “filsafat yang menempatkan cara wujud manusia
sebagai tema sentral.”
Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian
eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak
logis atau tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutkan
rasional. Dengan demikian aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki
dengan pengalaman, dan situasi sejarah yang ia alami, dan tidak mau terikat
oleh hal-hal yang sifatnya abstrak serta spekulatif. Baginya, segala sesuatu
dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang tumbuh dari dirinya dan
kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan hidupnya.
Atas dasar pandangannya itu, sikap di kalangan kaum
Eksistensialisme atau penganut aliran ini seringkali nampak aneh atau lepas
dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to adalah lebih banyak menjadi
ukuran dalam sikap dan perbuatannya.
Pandangannya tentang pendidikan, disimpulkan oleh Van
Cleve Morris dalam Existentialism and Education, bahwa
“Eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam
segala bentuk. Oleh sebab itu Eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk
pendidikan sebagaimana yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan
eksistensialisme yang diajukan oleh Morris sebagai “Eksistensialisme’s concept
of freedom in education”, menurut Bruce F. Baker, tidak memberikan kejelasan.
Barangkali Ivan Illich dengan Deschooling Society, yang banyak
mengundang reaksi di kalangan ahli pendidikan, merupakan salah satu model
pendidikan yang dikehendaki aliran Eksistensialisme tidak banyak dibicarakan
dalam filsafat pendidikan.
C.
Aspek Metafisik dan Pendidikan
Aspek metafisis itu berkaitan dengan realitas. Menurut
pandangan eksistensialisme realitas adalah subyektif, dengan eksistensi
mendahului essensi (J.P. Sartre). Kita lahir dan eksis lalu menentukan dengan
bebas esensi kita masing-masing. Setiap individu menentukan untuk dirinya
sendiri apa itu yang benar, salah, indah dan jelek. Tidak ada bentuk universal,
setiap orang memiliki keinginan untuk bebas (free will) dan berkembang.
Pendidikan sebaiknya menekankan refleksi yang mendalam terhadap komitmen dan
pilihan sendiri. Manusia bukanlah makhluk sempurna, maka dari itu perlu
penyadaran diri dengan menerapakan prinsip-prinsip dan standar pengembangan
kepribadian.
D.
Aspek Epistimologis dan Pendidikan
Aspek ini berkaitan dengan pengetahuan dan masalah
kebenaran. Jika dikaitkan dengan kurikulum yaitu menjadikan kurikulum yang
liberal. Ini merupakan landasan bagi kebebasan manusia. Kebebasan memiliki
aturan–aturan. Oleh karena itu di sekolah harus diajarkan pendidikan sosial
untuk mengajar respek rasa hormat terhadap kebasan untuk semua.
Proses belajar mengajar pengetahuan tidak ditumpahkan
melainkan ditawarkan. Untuk menjadi hubungan antara guru dengan siswa sebagai
suatu dialog.
E.
Aspek Aksiologis dan Pendidikan
Aspek yang ketiga ini berhubungan dengan nilai (etika dan
estetika). Standar dan prinsip yang bervariasi pada tiap individu bebas
untuk dipilih dan diambil. Etika sebagai tuntunan moral bagi kepentingan
pribadi tanpa menyakiti orang. Nilai keindahan ditentukan secara individual
pada tiap orang oleh dirinya.
BAB III
KESIMPULAN
Eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus
mendeskripsikan eksistensi dan pengalaman manusia dengan metedologi
fenomenologi, atau cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi
terhadap materialisme dan idealisme Pendapat materialisme terhadap manusia
adalah manusia adalah benda dunia, manusia itu adalah materi , manusia adalah
sesuatu yang ada tanpa menjadi Subjek.
Tujuan pendidikan menurut pandangan eksistensialisme adalah
untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk
pemenuhan diri dengan memberikan bekal pengalaman yang luas dan komprehensif
dalam semua bentuk kehidupan.
Aspek-aspek:
1.
Aspek metafisika (hakekat
kenyataan), pribadi manusia tak sempurna, dapat diperbaiki melalui peyadaran
diri dengan menerapkan prinsip dan standar pengembangan kepribadian.
2.
Aspek Epistimologi (hakekat
pengetahuan), data internal pribadi, acuannya kebebasan memilih.
3.
Aksiologi (hakekat nilai), standar
dan rinsip yang bervariasi pada tiap individu bebas untuk dipilih dan diambil.
DAFTAR PUSTAKA
Makalah
Filsafat Pendidikan Kelompok 9 (Aliran-aliran Filsafat Pendidikan) « Pba09's
Blog.htm
Achmad
Dardiri. Aspek-aspek Filsafat dan Kaitannya Dengan Pendidikan.Majalah
Ilmiah Fondasi Pendidikan, Volume 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar