BAB
I
PENDAHULUAN
1.4. Latar Belakang
Sasaran pendidikan adalah manusia.
Pendidikan bermaksud membantu peserta didik untuk menumbuhkembangkan
potensi-potensi kemanusiaanya. Potensi kemanusiaan merupakan benih kemungkinan
untuk menjadi manusia. Tugas mendidik hanya mungkin dilakukan dengan benar dan tepat
tujuan, jika pendidikan memiliki ciri khas yang secara prinsipil berbeda dengan
hewan.
Ciri khas manusia yang membedakanya
dari hewan terbentuk dari kumpulan terpadu dari apa yang disebut dengan hakekat
menusia. Disebut sifat hakekat manusia karena secara hakiki sifat tersebut
hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Pemahaman pendidikan
terhadap sifat hakekat manusia akan membentuk peta tentang karakteristik
manusia dalam bersikap, menyusun startegi, metode dan tekhnik serta memilih pendekatan
dan orientasi dalam merancang dan melaksanakan komunikasi dalam interaksi
edukatif.
Sebagai pendidik bangsa Indonesia,
kita wajib memiliki kejelasan mengenai hakekat manusia Indonesia seutuhnya.
Sehingga dapat dengan tepat menyusun rancangan dan pelaksaaan usaha
kependidikannya. Selain itu, seorang pendidik juga harus mampu mengembangkan
tiap dimensi hakikat manusia, sebagai pelaksanaan tugas kependidikanya menjadi
lebih profesional.
1.2 Rumusan Masalah
Dari beberapa uraian latar belakang
diatas, dapat diambil beberapa rumusan masalah antara lain:
a) Apa yang dimaksud dengan sifat
hakikat manusia?
b) Bagaimana wujud sifat hakikat
manusia?
c) Bgaimana pengembangan wujud sifat
hakikat manusia?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini yaitu:
a)
Untuk mengenal lebih dalam tentang sifat hakikat manusia.
b)
Untuk mengetahui wujud sifat hakikat manusia.
c)
Untuk memahami pengembangan wujud sifat hakikat manusia
BAB
II
LANDASAN
TEORI
Secara
bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens”
(Latin), yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk ang berakal
budi (mampu menguasai makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan
sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok
(genus) atau seorang individu.
Dalam hubungannya dengan lingkungan, manusia merupakan suatu oganisme hidup (living organism). Terbentuknya pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungan bahkan secara ekstrim dapat dikatakan, setiap orang berasal dari satu lingkungan, baik lingkungan vertikal (genetika, tradisi), horizontal (geografik, fisik, sosial), maupun kesejarahan. Tatkala seoang bayi lahir, ia merasakan perbedaan suhu dan kehilangan energi, dan oleh kaena itu ia menangis, menuntut agar perbedaan itu berkurang dan kehilangan itu tergantikan. Dari sana timbul anggapan dasar bahwa setiap manusia dianugerahi kepekaan (sense) untuk membedakan (sense of discrimination) dan keinginan untuk hidup. Untuk dapat hidup, ia membutuhkan sesuatu. Alat untuk memenuhi kebutuhan itu bersumber dari lingkungan.
Dalam hubungannya dengan lingkungan, manusia merupakan suatu oganisme hidup (living organism). Terbentuknya pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungan bahkan secara ekstrim dapat dikatakan, setiap orang berasal dari satu lingkungan, baik lingkungan vertikal (genetika, tradisi), horizontal (geografik, fisik, sosial), maupun kesejarahan. Tatkala seoang bayi lahir, ia merasakan perbedaan suhu dan kehilangan energi, dan oleh kaena itu ia menangis, menuntut agar perbedaan itu berkurang dan kehilangan itu tergantikan. Dari sana timbul anggapan dasar bahwa setiap manusia dianugerahi kepekaan (sense) untuk membedakan (sense of discrimination) dan keinginan untuk hidup. Untuk dapat hidup, ia membutuhkan sesuatu. Alat untuk memenuhi kebutuhan itu bersumber dari lingkungan.
Hakekat
manusia adalah sebagai berikut :
1. Makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat
menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
2. Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung
jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial.
3. yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif
mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya.
4. Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus
berkembang tidak pernah selesai (tuntas) selama hidupnya.
5. Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan
dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan
membuat dunia lebih baik untuk ditempati
6. Suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya
merupakan ketakterdugaan dengan potensi yang tak terbatas
7. Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang
mengandung kemungkinan baik dan jahat.
8. Individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama
lingkungan sosial, bahkan ia tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat
kemanusaannya tanpa hidup di dalam lingkungan sosial.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian sifat dan hakikat
manusia
Menurut ahli psikologi menyatakan
bahwa hakekat manusia adalah rohani, jiwa atau psikhe. Jasmani dan nafsu
merupakan alat atau bagian dari rokhani. Sifat hakikat manusia adalah ciri-ciri
karakteristik yang secara prinsipil membedakan manusia dari hewan, meskipun
antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama dilihat dari segi
biologisnya.
Bentuknya (misalnya orang hutan), bertulang belakang seperti manusia, berjalan tegak dengan menggunakan kedua kakinya, melahirkan, menyusui anaknya dan pemakan segala. Bahkan carles darwin (dengan teori evolusinya) telah berjuang menemukan bahwa manusia berasal dari primat atau kera tapi ternyata gagal karena tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa manusia muncul sebagai bentuk ubah dari primat atau kera.
Bentuknya (misalnya orang hutan), bertulang belakang seperti manusia, berjalan tegak dengan menggunakan kedua kakinya, melahirkan, menyusui anaknya dan pemakan segala. Bahkan carles darwin (dengan teori evolusinya) telah berjuang menemukan bahwa manusia berasal dari primat atau kera tapi ternyata gagal karena tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa manusia muncul sebagai bentuk ubah dari primat atau kera.
Disebut sifat hakikat manusia karena
secara haqiqi sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat
pada hewan. Karena manusia mempunyai hati yang halus dan dua pasukannya.
Pertama, pasukan yang tampak yang meliputi tangan, kaki, mata dan seluruh
anggota tubuh, yang mengabdi dan tunduk kepada perintah hati. Inilah yang
disebut pengetahuan. Kedua, pasukan yang mempunyai dasar yang lebih halus
seperti syaraf dan otak. Inilah yang disebut kemauan. Pengetahuan dan kemauan
inilah yang membedakan antara manusia dengan binatang.
3.2 Sifat Hakikat Manusia
Sifat hakikat manusia diartikan
sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara prinsipil membedakan manusia dari
hewan. Meskipun antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama jika
dilihat dari segi biologisnya.
Bahkan beberapa filosof seperti
Socrates menamakanmanusia itu Zoon Politicon (hewan yang bermasyarakat), Max
Scheller menggambarkan manusia sebagai Das Kranke Tier (hewan yang sakit)
(Drijarkara, 1962: 138) yang selalu gelisah dan bermasalah.
Kenyataan dan pernyataan tersebut
dapat menimbulkan kesan yang keliru, mengira bahwa hewan dan manusia itu hanya
berbeda secara gradual, yaitu suatu perbedaan yang melalui rekayasa dapat
dibuat menjadi sama keadaannya, misalnya air karena perubahan temperature lalu
menjadi es batu. Seolah-olah dengan kemahiran rekayasa pendidikan orang utan
dapat dijadikan manusia. Padahal kita tahu bahwa manusia mempunyai akal dan
pikiran yang dapat dijadikan sebagai perbedaan manusia dengan hewan.
3.3 Wujud Sifat Hakikat Manusia
Pada bagian ini akan dipaparkan
wujud sifat hakikat manusia menjadi delapan, yaitu :
1.
Kemampuan Menyadari Diri
Menurut kaum rasionalis kunci
perbedaan manusia dengan hewan pada adanya kemampuan adanya menyadari diri yang
dimiliki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki
oleh manusia, maka manusia menyadari bahwa dirinya (akunya) memiliki ciri khas
atau karakteristik diri. Hal ini menyebabkan manusia dapat membedakan dirinya
dengan aku-aku yang lain (ia, mereka) dan dengan non-aku (lingkungan fisik)
disekitarnya. Bahkan bukan hanya membedakan lebih dari itu manusia dapat
membuat jarak (distansi) dengan lingkungannya. Sehingga mempunyai kesadaran
diri bahwa manusia mempunyai perbedaan dengan makhluk lainnya.
2.
Kemampuan Bereksistensi
Kemampuan bereksistensi yaitu
kemampuan menempatkan diri, menerobos, dan mengatasi batas-batas yang
membelenggu dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan saja dalam kaitannya dengan
soal ruang, melainkan juga dengan waktu. Dengan demikian manusia tidak terbelanggu
oleh tempat atau ruang ini (di sini) dan waktu ini (sekarang), tapi dapat
menembus ke “sana” dan ke “masa depan” ataupun “masa lampau”. Kemampuan
menempatkan diri dan menerobos inilah yang disebut kemampuan bereksistensi.
Justru karena manusia memiliki kemampuan bereksistensi inilah maka pada diri
manusia terdapat unsure kebebasan. Dengan kata lain, adanya manusia bukan
“ber-ada” seperti hewan dikandang dan tumbuh-tumbuhan di dalam kebun, melainkan
“meng-ada” di muka bumi (Drijarkara, 1962:61-63).
Kemampuan bereksistensi perlu dibina
melalui pendidikan. Peserta didik diajar agar belajar dari pengalamannya,
belajar mengantisipasi sesuatu keadaan dan peristiwa, belajar melihat prospek
masa depan dari sesuatu serta mengembangkan daya imajinasi kreatif sejak dari
masa kanak-kanak.
3.
Kata Hati (Consecience Of Man)
Kata hati atau (Consecience Of Man)
sering disebut hati nurani, pelita hati, dan sebagainya. Kata hati adalah
kemampuan membuat keputusan tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah bagi
manusia sebagai manusia. Dalam kaitan dengan moral (perbuatan), kata hati
merupakan “petujuk bagi moral/perbuatan”. Realisasinya dapat ditempuh dengan
melatih akal kecerdasan dan kepekaan emosi. Tujuannya agar orang memiliki
keberanian moral (berbuat) yang didasari oleh kata hati yang tajam.
4.
Moral
Moral juga disebut sebagai etika
adalah perbuatan sendiri. Moral yang singkron dengan kata hati yang tajam yaitu
benar-benar baik manusia sebagai manusia merupakan moral yang baik atau moral
yang tinggi (luhur). Sebaliknya perbuatan yang tidak sinkron dengan kata hati
yang tajam ataupun merupakan realisasi dari kata hati yang tumpul disebut moral
yang buruk atau moral yang rendah (asor) atau lazim dikatakan tidak bermoral.
Seseorang dikatakan bermoral tinggi karena ia menyatukan diri dengan
nilai-nilai yang tinngi, serta segenap perbuatannya merupakan peragaan dari
nilai-nilai yang tinggi. Moral (etika) menunjuk kepada perbuatan yang
baik/benar ataukah yang salah, yang berperikemanusiaan atau yang jahat.
5.
Tanggung Jawab
Kesediaan untuk menanggung segenap
akibat dari perbuatan yang menuntut jawab, merupakan pertanda dari sifat orang
yang bertanggung jawab. Wujud bertanggung jawab bermaam-macam yaitu tanggung
jawab kepada diri sendiri, kepada masyarakat, dan kepada Tuhan. Tanggung jawab
kepada diri sendiri berarti menanggung tuntutan kata hati, misalnya penyesalan
yang mendalam. Bertanggung jawab kepada masyarakat berarti menanggung tuntutan
norma-norma sosial. Bertanggung jawab kepada Tuhan berarti menanggung tuntutan
norma-norma agama misalnya perasaan berdosa dan terkutuk.
Tanggung jawab yaitu keberanian
untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.
Dengan demikian tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk
menentukan bahwa suatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.
6.
Rasa Kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas (tidak
terikat oleh sesuatu) yang sesuai dengan kodrat manusia. Kemerdekaan berkait
erat dengan kata hati dan moral. Yaitu kata hati yang sesuai dengan kodrat
manusia dan moral yang sesuai dengan kodrat manusia.
7.
Kewajiban dan Hak
Kewajiban merupakan sesuatu yang
harus dipenuhi oleh manusia. Sedangkan hak adalah merupakan sesuatu yang patut
dituntut setelah memenuhi kewajiban
Dalam realitas hudup sehari-hari,
umumnya diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan. Sedangkan kewajiban
dipandang sebagai suatu beban. Tetapi ternyata kewajiban bukanlah menjadi beban
melainkan suatu keniscayaan.
Realisasi hak dan kewajiban dalam
prakteknya bersifat relatif, disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Jadi,
meskipun setiap warga punya hak untuk menikmati pendidikan, tetapi jika
fasilitas pendidikan yang tersedia belum memadai maka orang harus menerima
keadaan relisasinya sesuai dengan situasi dan kondisi.
8.
Kemampuan Menghayati Kebahagiaan
Kebahagiaan adalah suatu istilah
yang lahir dari kehidupan manusia. Kebahagiaan tidak cukup digambarkan hanya
sebagai himpunan saja, tetapi merupakan integrasi dari segenap kesenangan,
kepuasan dan sejenisnya dengan pengalaman pahit dan penderitaan.
Manusia adalah mahluk yang serba terhubung, dengan masyarakat, lingkungan, diri sendiri dan Tuhan. Dalam krisis total manusia mengalami krisis hubungan dengan masyarakat dengan lingkungannya, dengan diri sendiri dan dengan Tuhan. Kebahagiaan hanya dapat dicapai apabila manusia meningkatkan kualitas hubungannya sebagai mahluk yang memiliki kondisi serba terhubung dan dengan memahami kelebihan dan kekurangan diri sendiri.
Manusia adalah mahluk yang serba terhubung, dengan masyarakat, lingkungan, diri sendiri dan Tuhan. Dalam krisis total manusia mengalami krisis hubungan dengan masyarakat dengan lingkungannya, dengan diri sendiri dan dengan Tuhan. Kebahagiaan hanya dapat dicapai apabila manusia meningkatkan kualitas hubungannya sebagai mahluk yang memiliki kondisi serba terhubung dan dengan memahami kelebihan dan kekurangan diri sendiri.
Kebahagiaan ini dapat diusahakan
peningkatannya. Ada dua hal yang dapat dikembangkan, yaitu kemampuan berusaha
dan kemampuan menghayati hasil usaha dalam kaitannya dengan takdir. Dengan
demikian pendidikan mempunyai peranan penting sebagai wahana untuk mencapai
kebahagiaan, utamanya pendidikan keagamaan.
Dimensi-dimensi Hakikat
Manusia serta Potensi, Keunikan, dan Dinamikanya
Berikut ini ada 4 dimensi yang akan
dibahas, yaitu:
1.
Dimensi Keindividuan
Lysen mengartikan individu sebagai
“orang-seorang”, sesuatu yang merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat
dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya individu diartikan sebagai pribadi.
(Lysen, individu dan masyarakat: 4). Setiap anak manusia yang dilahirkan telah
dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari yang lain, atau menjadi (seperti)
dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang identik di muka bumi. Demikian
kata M.J. Langeveld (seorang pakar pendidikan yang tersohor di negeri
Belanda)yang mengatakan bahwa setiap orang memiliki individualitas (M.J.
Langeveld, 1995:54). Bahkan anak kembar yang berasal dari satu telur pun, yang
lazim dikatakan seperti pinang dibelah dua, serupa dan sulit dibedakan satu
dari yang lain, hanya serupa tetapi tidak sama, apalagi identik. Hal ini
berlaku baik dari sifat-sifat fisiknya maupun hidup kejiwaannya (kerohaniannya).
Karena adanya individualitas itu setiap oarang memiliki kehendak, perasaan,
cita-cita, kecenderungan, semangat, dan daya tahan yang berbeda.
2.
Dimensi Kesosialan
Setiap bayi yang lahir dikaruniai
potensi sosialitas. Demikian kata M.J. Langeveld (M.J. Langeveld, 1955:54).
Pernyataan tersebut diartikan bahwa setiap anak dikaruniai benih kemungkinan
untuk bergaul. Artinya, setiap orang dapat saling berkomunikasi yang pada
hakekatnya didalamnya terkandung unsur saling memberi dan menerima. Bahkan
menurut Langeveld, adanya kesediaan untuk saling memberi dan menerima itu
dipandang sebagai kunci sukse pergaulan. Adanyta dorongan untuk menerima dan
memberi itu sudah menggejala mulai pada masa bayi. Seorang bayi sudah dapat
menyambut atau menerima belaian ibunya dengan rasa senang kemudian sebagia
balasan ia dapat memberikan senyuman kepada lingkungannya, khususnya pada
ibunya.
Adanya dimensi kesosialan pada diri
manusia tampak lebih jelas dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk
bergaul, setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya. Betapa kuatnya dorongan
tersebut sehingga bila dipenjarakan merupakan hukuman yang paling berat
dirasakan oleh manusia. Karena dengan diasingkan di dalam penjara berarti
diputuskannya dorongan bergaul tersebut secara mutlak. Immanuel Kant seorang
filosofis tersohor bangsa jerman menyataknan: Manusia hanya menjadi
manusia jika berada di sekitar manusia. Kiranya tidak ada seorang pun yang bisa
hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.
3.
Dimensi Kesusilaan
Susila berasal dari kata su dan sila
yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan tetapi di dalam kehidupan
bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang pantas jika di dalam yang
pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung. Karena itu
pengertian susila berkembangsehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan
yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istilah yang
mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan)
dan etika (persoalan kebaikan). Kedua hal tersebut biasanya dikaitkan dengan
persoalan hak dan kewajiban.
Sehubungan dengan hal tersebut ada
dua pendapat yaitu:
a.
Golongan yang menganggap bahwa kesusilaan mencakup kedua-duanya. Etiket tidak
bisa dibedakan dari etika karena sama-sama dibutuhkan dalam kehidupan.
b.
Golongan yang memandang bahwa etiket dan etika perlu dibedakan, karena
masing-masing mengandung kondisi yang tidak selamanya selalu berjalan.
Kesopanan merupakan minyak pelincir dalam pergaulan hidup, sedangkan etika
merupakan isinya.
Di dalam uraian ini kesusialaan
diartikan mencakup etika dan etiket. Persoalan kesusilaan selalu berhubungan
erat dengan nilai-nilai. Pada hakikatnya manusia memiliki kemampuan untuk
mengambil keputusan susila, serta melaksanakannya sehingga dikatakan manusia
itu adalah makhluk susila. Drijarkara mengartikan manusia susila sebagai
manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati, dan melaksanakn nilai-nilai
tersebit dalam perbuatan. Nilai-nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi
oleh manusia karena mengandung makna kebaikan, keluhuran, kemuliaan, dan
sebagainya, sehingg adapat diyakini dan dijadikan pedoman dalam kehidupan.
4.
Dimensi Keberagamaan
Pada hakikatnya manusia adalah
makhluk religius. Sejak dahulu kala, sebelum manusia mengenal agama mereka
telah percaya bahwa di luar alam yang dapat dijangkau dengan perantara alat
indranya, diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang menguasai hidup alam
semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan diri kepada kekuatan
tersebut diciptakanlah mitos-mitos.
Kemudian setelah ada agama manusia
mulai menganutnya. beragama merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah
makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan
agama demi keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi sandaran
vertikal manusia. Ph. Khonstam berpendapat bahwa pendidikan agama seyogyanya
menjadi tugas orang tua dalam lingkungan keluaraga, karena pendidikan agama
adalah persoalan afektif dan kata hati.
Pemerintah dengan berlandaskan GBHN
memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum di sekolah mulai dari SD sampai
dengan perguruan tinggi (Pelita V). Di sini perlu ditekankan bahwa meskipun
pengkajian agama melalui mata pelajaran agama ditingkatkan, namun harus tetap
disadari bahwa pendidikan agama bukan semata-mata pelajaran agama yang hanya
memberikan pengetahuan tentang agama. Jadi dari segi-segi afektif harus
diutamakan.
3.4 Pengembangan Wujud Sikap Hakikat
Manusia
Manusia lahir telah dikaruniai
dimensi hakikat manusia tetapi masih dalam wujud potensi, belum teraktualisasi
menjadi wujud kenyataan. Dari kondisi potensi menjadi wujud aktualisasi
terdapat rentangan proses yang mengundang pendidikan untuk berperan dalam
memberikan jasanya.seseorang yang dilahirkan dengan bakat seni misalnya,
memerlukan pendidikan untuk diproses menjadi seniman terkenal. Setiap menusia
lahir dikaruniai “naluri” yaitu dorongan-dorongan yang alami (dorongan makan,
seks, dan mempertahankan diri, dan lain-lain). Jika seandainya manusia dapat
hidup hanya dengan naluri maka ia tidak berbeda dengan hewan. Hanya melalui
pendidikan status hewani itu dapat diubah kea rah ststus manusiawi.meskipun
pendidikan itu pada dasarnya baik tetapi pelaksanaannya mungkin saja terjadi
kesalahan-kesalahan yang biasa disebut salah didik.
Hal tersebut dapat terjadi karena
pendidik adalah manusia biasa yang tidak luput dari kelemahan-kelemahan.
Sehubungan dengan itu ada dua kemungkinan yang bias terjadi, yaitu :
1.
Pengembangan yang utuh, dan
2.
Pengembangan yang tidak utuh.
1.
Pengembangan utuh
Tingkat keutuhan pengembangan
dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua faktor, yaitu kualitas dimensi
hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kulitas pendidikan yang
disediakan untuk memberikan\ pelayanana atas perkembangannya. Optimisme ini
timbul berkat pengaruh perkembangan iptek yang sangat pesat yang memberikan
dampak kepada peningkatan perekayasaan pendidikan melalui teknologi pendidikan.
Pengembangan yang utuh dapat dapat
dilihat dari berbagai segi yaitu:
a.
Dari wujud dimensi yaitu, aspek jasmani dan rohani.
b.
Dari arah pengembangan yaitu, aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
2.
Pengembangan yang tidak utuh
Pengembangan yang tidak utuh
terhadap dimensi hakikat manusia akan terjadi di dalam proses pengembangan jika
ada unsur dimensi hakikat manusia yang terabaikan untuk ditangani, misalnya
dimensi kesosialan didominasi oleh pengembangan dimensi keindividualan ataupun
dominan afektif didominasi oleh pengembangan dominan kognitif.
Pengembangan yang tidak utuh
berakibat terbentuknya kepribadian yang pincang dan tidak mantap. Pengembangan
semacam ini merupakan pengembangan yang patologis.
3.5 Sosok Manusia Seutuhnya.
Sosok manusia seutuhnya telah
dirumuskan dalam GBHN mengenai arah pembangunan jangaka panjang. Dinyatakan
bahwa pembangunan nasional dilaksanakan di dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.
Sosok manusia seutuhnya berarti
bahwa pembangunan itu tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah, seperti sandang,
pangan, kesehatan, ataupun batiniah seperti pendidikan, rasa aman, bebas
mengeluarkan pendapat yang bertanggung jawab, atau rasa keadilan, melainkan
keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara keduanya sekaligus batiniah.
Selanjutnya juga diartikan bahwa pembangunan itu merata diseluruh tanah air,
bukan hanya untuk golongan atau sebagian dari masyarakat. Selanjutnya juga
diartikan sebagai keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, antara
sesama manusia, antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya, keserasian
hubungan antara bangsa-bangsa, dan keselarasan antara cita-cita hidup di dunia
dengan kebahagiaan di akhirat.
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Manusia merupakan makhluk yang sempurna.
Manusia memiliki akal untukmenghadapi kehidupannya di dunia ini. Akal juga
memerlukkan pendidikan sebagai obyek yang akan dipikirkan. Fungsi akal tercapai
apabila akal itu sendiri dapat menfungsikan, dan obyeknya itu sendiri adalah
ilmu pengetahuan. Maka dari itu, manusia pada hakikatnya adalah makhluk
peadagogis, makhluk social, makhluk individual, makhluk beragama.
Setiap manusia mempunyai hakekat dan
dimensi yang dimilikinya. Dan dalam diri manusia itu terdapat potensi–potensi
terpendam yang dapat ditumbuhkembangkan menuju kepribadian yang mantap.
4.2
Implikasi
- Individu yang memliki potensi fisik dan psikis
yang khas sehingga merupakan insan yang unik. Potensi-potensi itu selalu ingin
dikembangkan dan diaktualisasikan dan untuk mengaktualisasikannya membutuhkan
bantuan dan bimbingan
- Individu
yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi. Dalam proses
perkembangannya peserta didik membutuhkan bantuan dan bimbingan.
- Individu
yang memilki kemampuan untuk mandiri. Pada diri anak ada kecenderungan untuk
memerdekakan diri. Pendidik tidak boleh memaksakan agar peserta didik berbuat
menurut pola yang dikehendaki pendidik. Ini dimaksudkan agar peserta didik
memperoleh kesempatan memerdekakan diri dan bertanggungjawab sendiri.
4.3
Saran
Sebagai
calon guru kita seharusnya memperhatikan anak didik dan memberikan bimbingan
agar potensi–potensi terpendam yang terdapat dalam diri peserta didik dapat
ditumbuhkembangkan menuju kepribadian yang mantap.
DAFTAR
PUSTAKA
Arif, A. 2010. Manusia dan
Pendidikan Hakikat Manusia dan Pengembangannya. http://m-arif-am.blogspot.com. Diakses pada tanggal 06 September 2013.
Miranda, Dian. 2008. Hakekat
Manusia dan pengembangannya. http://dianmiranda.wordpress.com.
Diakses pada tanggal 06 September 2013.
Oddi. 2009. Wujud Hakekat Manusia.
http://oddy32.wordpress.com.
Diunduh pada tanggal 06 September 2013.
Rojib. 2009. Hakekat Manusia dan
Pengembangan Dimensinya. http://blog.beswandjarum.com. Diakses pada tanggal 06 September 2013.
Tirtaharja, Umar dan La Sula. 1994. Pengantar
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar