Kamis, 22 Januari 2015

Asas Filsafat Pendidikan



ASAS-ASAS FILSAFAT PENDIDIKAN
Skedar tinjauan sejarah ide-ide filsafat pendidikan, antara lain dapat disimpulkan pada tiga teori dasar (hukum dasar) yaitu:
1. Teori (hukum) Emperisme:
Teori emperisme mengatakan bahwa perkembangan dan pembentukan manusia itu ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan, termasuk pendidikan. Sebagai pelopor emperisme ialah John Locke (1632-1704) yang dikenal dengan teori ”tabularasa” atau emperisme. Menurut teori tabularasa, bahwa tidap individu lahir sebagai kertas putih, dan lingkungan itulah yang memberi corak atau tulisan dalam kertas putih tersebut. Bagi John Locke pengalaman yang berasal dari lingkungan itulah yang menentukan pribadi seseorang.
2. Teori (hukum) Nativisme:
Teori nativisme yang dipelopori oleh Athur Schopenhauer (1788-1860) mengatakan bahwa perkembangan pribadi hanya ditentukan oleh bawaan (kemampuan dasar), bakat serta faktor endogen yang bersifat kodrati. Namun menurut Azim, bahwa faktor bawaan dasar (al-warisah) memang punya pengaruh dalam pembentukan kepribadian, namun bukanlah satu-satunya (Ali Abdul Azim, 1973). Proses pembentukan dan perkembangan pribadi ditentukan oleh faktor bawaan ini, yang tidak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar atau pendidikan. Menurut Syam, bahwa aliran nativisme bersifat pesimistik, karena menerima kepribadian sebagaimana adanya, tanpa kepercayaan adanya nilai-nilai pendidikan untuk merubah kepribadian (Mohammad Noor Syam, 1986).
3. Teori (hukum) Konvergensi:
Teori konvergensi yang dipelopori oleh Willam Stern (1871-1938) ini, mengatakan bahwa perkembangan manusia itu berlangsung atas pengaruh dari faktor-faktor bakat/kemampuan dasar (endogen/bawaan) dan faktor alam sekitar (eksogen/ajar), termasuk pendidikan dan sosial budaya. Karena dalam kenyataannya bahwa kemampuan dasar yang baik saja, tanpa dibina oleh alam lingkungan terutama lingkungan sosial termasuk pendidikan tidak akan dapat mencetak pribadi yang ideal. Sebaliknya, lingkungan yang baik terutama pendidikan, tetapi tidak didukung oleh kemampuan dasar tadi, tidak akan menghasilkan kepribadian yang ideal. Oleh karena itu perkembangan pribadi sesungguhnya adalah hasil persenyawaan antara faktor endogen dan eksogen.
Filsafat pendidikan modern, menurut Imam Barnadib (1982), pada garis besarnya dibagi kepada empat aliran yaitu aliran progresivisme, esensialisme, perenialisme dan rekonstruksianisme. Aliran progresivisme menghendaki pendidikan yang pada hakikatnya progresif. Tujuan pendidikan hendaklah diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus. Pendidikan hendaklah bukan hanya menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik untuk diterima saja, melainkan yang lebih penting daripada itu ialah melatih kemampuan berpikir dengan memberikan stimuli-stimuli. Dengan demikian orang akan dapat berbuat sesuatu dengan inteligensi dan mampu mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dari lingkungan. Atau dengan kata lain, dengan adanya pelatihan berpikir, peserta didik berkemampuan memecahkan masalah (problem solving) baik problem personal maupun sosial.
Aliran esensialisme, menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakikat kedudukannya dalam kebudayaan. Nilai itu hendaklah yang sampai kepada manusia melalui sivilisasi dan yang telah teruji oleh waktu. Tujuan pendidikannya adalah sebagai perantara atau pembawa nilai-nilai yang ada di dalam ‘gudang’ di luar ke jiwa peserta didik. Dengan demikian peserta didik perlu dilatih agar mempunyai kemampuan menyerap yang tinggi. Di samping tujuan tersebut, alirian esensialisme menghendaki agar disampaikan warisan budaya dan sejarah seputar inti pengetahuan yang terakumulasi begitu lama dan bermanfaat untuk di diketahui peserta didik. Aliran perenialisme, menghendaki pendidikan kembali kepada jiwa yang menguasai Abad Pertengahan, karena abad ini, (1) telah merupakan jiwa yang menuntut manusia hingga dapat dimengerti adanya tata kehidupan yang telah ditentukan secara rasional; (2) dan abad ini telah dapat menemukan adanya prinsip-prinsip pertama yang mempunyai peranan sebagai dasar pegangan intelektual manusia dan yang dapat menjadi sarana untuk menemukan evidensi-evidensi diri sendiri, dan (3) agar membantu peserta didik menemukan kembali dan menginternalisasi nilai-nilai kebenaran universal dan abadi masa lalu dan penyerapan dan penguasaan fakta-fakta dan informasi.
Aliran rekonstruksianisme, menghendaki agar peserta didik dapat dibangkitkan kemampuannya untuk secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan penyesuaian seperti ini peserta didik akan tetap berada dalam suasana aman dan bebas. Tujuan pendidikannya ialah agar pesera didik memiliki kesadaran akan problem sosial, politik, ekonomi umat manusia, memiliki keterampilan untuk memecahkan problem tersebut dan membangun tatanan masyarakat baru. Ada persamaan filsafat pendidikan modern (Barat) dan fisafat pendidikan Islam, di samping terdapat perbedaan yang fundamental. Persamaannya terletak pada orientasi apakah ke masa silam, sekarang dan akan datang atau gabungan dari perbedaan masa tersebut dan ke aliran yang ditentukan oleh mazhab atau aliran masing-masing. Sedangkan perbedaan yang fundamental ialah terletak pada sumber. Filsafat pendidikan pada umumnya bersumber dari olah akal budi manusia dan kitab suci penganutnya, sedangkan filsafat pendidikan Islam disamping bersumber dari olah akal-budi manusia selama hasil akal budi tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, juga bersumber dari kitab suci umat Islam yakni Alquran dan Sunnah.
Pengembangan sumberdaya manusia dapat berjalan dengan baik apabila pembelajar dididik dalam sistem pendidikan yang baik pula. Salah satu sub sistem dari sistem pendidikan Islam ialah tujuan. Tujuan menentukan materi, metode dan lain-lain. Dari tujuanlah seseorang akan menata aktivitas pendidikan. Tujuan pendidikan yang dilontarkan seseorang sangat tergantung kepada keyakinannya mengenai keberdayaan manusia, keberagamaannya dan filsafat pemikirannya, sehingga tujuan pendidikan antara ahli yang satu dengan lainnya berbeda. Demikian juga karena perbedaan pendekatan, maka tujuan pendidikannya pun berbeda. Pada dasarnya ada tiga pendekatan dalam menentukan tujuan pendidikan yaitu pendekatan yang berorientasi masa lalu tentang nilai-nilai dan realita yang sudah ada, yang tetap tumbuh sepanjang sejarah bangsa itu. Nilai-nilai lama yang konservatif harus dijadikan acuan dalam penetapan tujuan pendidikan. Ini merupakan ciri utama pendidikan essensialistik. Diantara kritikan kepada aliran ialah bahwa nilai-nilai lama sebagai hasil akal budi manusia belum tentu sesuai dengan keadaan aktual sekarang ini. Pendekatan berdasarkan analisa ilmiah tentang realita kehidupan sekarang yang aktual. Ini juga kurang tepat karena masa sekarang belum tentu sama masalahnya dengan masa yang akan datang dan nilai-nilai lama yang baik tidak semuanya harus ditinggalkan. Artinya terdapat hal-hal yang substansial tetap berlaku, dengan catatan harus dikontekstualisasikan dengan situasi sekarang. Pendekatan melalui konvergensi antara nilai-nilai fundamental masa lalu, nilai-nilai aktual kehidupan masa sekarang dan kajian ilmiah antisipatif masa depan dijadikan arahan dalam penetapan tujuan pendidikan. Nilai-nilai masa lalu, nilai-nilai masa sekarang dan nilai-nilai antisipatif masa yang akan datang dijadikan sebagai arahan dan pendekatan untuk menentukan tujuan pendidikan.
Di samping tujuan sebagai sub sistem pendidikan Islam, yang tidak kalah pentingnya ialah metode. Metode adalah cara yang digunakan guru dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah dirumuskan. Metode mempunyai kedudukan penting dalam mencapai tujuan. Karena dengan metode yang tepat dan menarik, tujuan belajar mudah tercapai, mudah mengambil kesimpulan dari bahan yang disajikan sekaligus dapat memberi motivasi bagi pembelajar untuk belajar lebih jauh dengan hati yang senang. Materi yang sulit akan mudah dimengerti oleh peserta didik, jika disampaikan dengan metode yang tepat dan menarik. Yang abstrak menjadi konkret karena metode yang baik. Penguasaan guru terhadap berbagai metode mengajar mutlak diperlukan. Tidak ada satu metode pendidikan yang tepat guna untuk semua tujuan pendidikan, semua ilmu, semua isi pelajaran, semua tahap perkembangan, kematangan dan kecerdasan, untuk semua guru dan untuk semua keadaan yang meliputi proses pendidikan dan pengajaran. Paling tidak seseorang menggunakan metode belajar mengajar tergantung kepada posisi (1) apa tujuan pembelajarannya, (2) bagaimana kemampuan guru, (3) bagaimana keadaan peserta didik, (4) apa karakteristik mata pelajarannya, (5) sejauh mana sarana dan prasarana pembelajaran yang tersedia, dan (6) suasana pembelajaran yang meliputinya.
Dalam hal pemilihan metode terutama metode pendidikan Islam, harus juga dipertimbangkan prinsip-prinsip dalam menggunakan metode. Menurut al-Syaibani di antara prinsip-prinsip umum yang paling menonjol dalam metode pendidikan Islam ialah bahwa semua aktivitas mengajar dan belajar, –termasuk metode pendidikan Islam yang digunakan itu– harus berdasarkan akhlak terpuji; dapat membangkitkan semangat ajaran akhlak Islam; menekankan kebebasan murid-murid berdiskusi, berdebat dan berdialog dalam batas-batas kesopanan dan hormat menghormati; bersifat luwes dan dapat menerima perubahan dan penyesuaian sesuai dengan keadaan dan suasana dan mengikut sifat pembelajar. Juga menerima perbedaan sesuai dengan ilmu dan mata pelajaran dan topik tertentu, begitu juga dengan perbedaan umur peserta didik dan perbedaan kemampuan-kemampuan dan tahap kematangan mereka; metode yang dipilih harus dapat mengkomunikasikan antara teori dan praktik, antara ide dan kenyataan, antara warisan budaya dan inovasi-inovasi di segala bidan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar